Jumat, 25 Maret 2011

Catatan Suatu Malam



Wajah itu, sejujurnya sangat menarik, mencerminkan kematangan seorang pria. Jauh lebih menarik ketimbang foto resminya dengan jas dan peci yang sering kulihat akhir-akhir ini. Dengan ditemani rokok mild, sepincuk nasi pecel tumpang, malam itu kami ngobrol beberapa jam. Untuk itu, sengaja beliau mencari sebuah sudut yang sepi di rumahnya yang asri meski tak terlalu mewah. Maklum, saat itu H-2 Pilkada, dan pria itu salah satu calon kepala daerah. Di rumah besar itu tengah berkumpul ratusan orang, meluber sampai ke jalan.

Aku wartawan, sewajarnya bertanya. Dan mungkin sedang sangat bersemangat, beliau juga memapar sejumlah strategi yang sudah dilakukannya. “Tak penting saya jadi pemimpin. Itu bukan maksudnya. Tapi bagaimana memotong kekuasaan yang korup ini jangan keterusan dan beranak pinak. Itu saja,” jelasnya. Klise, khas politisi, tapi harus diakui banyak paparannya yang sangat berdasar.

Baiklah, Bapak, itu tentu cukup meyakinkan. Dari luar sana pun, kami juga mendengar banyak tentang beragam kelemahan, kekurangan dan kecurangan dari rezim yang sekarang. Daftarnya cukup panjang.

Lalu, si Bapak memaparkan banyak kiat. Sebenarnya bisa dipahami dan dimaklumi, bahwa untuk menggulingkan sebuah pohon besar yang sudah mengakar, tentu dibutuhkan kerja keras bertahun-tahun. Akar-demi akar diputuskan dan digerogoti. Ini mirip dengan perang gerilya yang serba menyelinap, menyerang dari belakang, lalu menghilang dan menyerang lagi kapan lawan lengah.

Dengan cukup gamblang si Bapak menjelaskan apa saja yang sudah dilakoni bertahun-tahun. Mulai dari membiayai kelompok demonstran, atau membuka borok dan kasus-kasus lawan politiknya ke media dengan meminjam nama LSM dan media massa. Bahkan di depanku dia menunjukkan draft selebaran yang akan dicetak sebagai black campaign bagi lawannya. Sekadar membalas, kilahnya menunjuk beberapa produk black campaign dari pihak lawan tentang dirinya.

Sesuap nasi tumpang yang enak tiba-tiba tersekat di tenggorokan, ketika mendadak muncul di bayanganku, bagaimana kalau benar si Bapak ini menang Pilkada? Apakah dia akan memakai cara-caranya bergerilya selama ini? OK, anggap tidak (lega sesaat) tapi bagaimana dengan kaki tangan yang sudah membantu dia paling tidak 3-4 tahun terakhir ini? Pejabat lama dia kritik sering menggunakan cara-cara preman, la kelompok dia ini namanya apa? Orang-orang yang terbiasa menggunakan aksi menekan, merongrong dan menyalahkan pihak lain, bahkan tidak segan menggunakan cara kasar?

Politik, menurutku memang seni untuk berkuasa, soal cara adalah nomor sekian. Tapi politik yang dijalankan dengan kasar, cenderung lebih menimbulkan kerusakan kolateral yang tidak perlu. Kalau hanya di antara elite saja, terserah lah. Lagipula, apa artinya perubahan, kalau akhirnya toh sama saja bagi rakyat?

Hampir tengah malam, aku pamit pulang. Saat di jalan, terlintas dua harapan: pertama, semoga ketakutanku tadi tidak akan terjadi. Kedua, jadi pingin segera menikmati lagi nasi pecel tumpang yang lezat tadi, aku yakin rasanya akan berlipat kali lebih lezat kalau dinikmati dalam suasana netral, tidak sambil bekerja apalagi memikirkan politik.

Pertengahan Maret, 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar