Minggu, 17 April 2011

Supeltas Sala Pancen Elok



Aja ngemungake dununge Supeltas ing Kutha Sala. Senadyan dudu pakaryan kang gumathok kayadene pegawe negeri, swasta utawa saudagar, malah kepara wagu yeng nganti ditulis ana ing KTP. Ananging, jejere Supeltas ana ing Sala bisa dadi ciri kaendahan lan kuncaraning kutha. Malah kena diarani, duwe urun marang kahanan bisa nuwuhake Sala dadi kutha kang pantes dadi jujugan sapa wae.

Supeltas, ukara liya ing Ibu Kota kerep diarani Pak Ogah, jalaran ing kana pakartine mesthi “ogah” (suthik) tumandang yen ora nganggo diwenehi dhuwit. Biyen pancen cukup Rp 100 utawa cepek, memper solahe Pak Ogah ing film cerita boneka Si Unyil. Dene saiki, paling ora dhuwit limang atus tekan sewu rupiah kudu dirogoh kanggo gancaring lelaku menawa kudu nyabrang lurung gedhe.

Ing Sala, babar pisan seje. Pancen saiki dalan-dalan ing tengah kutha wiwit memper kutha gedhe, saya reja lan kalamangsa nganggo macet. Ing kono, saben prapatan utawa simpangan dalan kerep dijaga Supeltas, singkatan saka Sukarelawan Pengatur Lalu Lintas. Jenenge wae sukarelawan, mula ya ora ana sing mblanja lan ngopahi.

Nanging, kena diarani ora ana Supeltas ing Sala sing ndremis ngathung, apa maneh meksa njaluk dhuwit marang sopir sing nggunakake jasane. Ana ciri kang banget gawe gumun. Senadyan panas, udan, ulate Supeltas Sala racak tetep sumeh, carane ngatur lalu lintas uga prigel lan ora ninggal kasusilan. Kabeh dilayani kanthi ora mbedakake. Dene yen ana sing ngulungake dhuwit, ditampani linambaran atur panuwun.

Ana ciri maneh, Supeltas Sala ora mung gaco nyandhang. Nanging padha gelem nganggo sandangan kang gampang dingerteni sapa wae menawa kuwi petugas pengatur lalu lintas. Sak liyane nganggo rompi Supeltas, uga padha macak nganggo manset lalu lintas, malah ora setithik pada nganggo helm utawa sepatu lars kang regane ora murah. Ora ketang mbok menawa ya mung barang lungsuran.

Kancaku wartawan Andi Wiratno, durung suwe wingi wawancara karo Rahmat Kartolo, tuwangganing Paguyuban Supeltas ing kutha Sala. Jebles karo pamawasku, pancen Supeltas ing Sala duwe paugeran utawa “kode etik” lima S yaiku: Salam, Sopan, Santun, Supel lan Sabar. “Abot kaya ngapa, kabeh kuwi kudu dilakoni adhedasar lima S kuwi mau,” ujare priya kang wis patang tahun madeg Supeltas iku. (Joglosemar 16/4).

Rasane trenyuh lan mongkog, dene para Supeltas iku genah dudu pawongan sugih utawa para sarjana sujaning budi. Ananging kaya memper dadi duta kuncaraning kutha. Sapa wae kang lagi ngerti Sala, bisa weruh menawa Sala pancen kutha kang endah, ora mung wujud wewangunan, nanging uga pakartine warga.

Aku dadi duwe pengarep-arep, muga-muga Pak Walikota Jokowi bisa kalamangsa kersa paring kawigatosan marang para Supeltas kang ora setithik sumbangane marang kutha Sala. Dene sapa wae kang rumangsa kerep nggunakake jasane Supeltas, ayo aja suthik weweh. Aja nganti para Supeltas kapiran, banjur salin slaga dadi Pak Ogah kaya ing kutha liya.

Jumat, 25 Maret 2011

Catatan Suatu Malam



Wajah itu, sejujurnya sangat menarik, mencerminkan kematangan seorang pria. Jauh lebih menarik ketimbang foto resminya dengan jas dan peci yang sering kulihat akhir-akhir ini. Dengan ditemani rokok mild, sepincuk nasi pecel tumpang, malam itu kami ngobrol beberapa jam. Untuk itu, sengaja beliau mencari sebuah sudut yang sepi di rumahnya yang asri meski tak terlalu mewah. Maklum, saat itu H-2 Pilkada, dan pria itu salah satu calon kepala daerah. Di rumah besar itu tengah berkumpul ratusan orang, meluber sampai ke jalan.

Aku wartawan, sewajarnya bertanya. Dan mungkin sedang sangat bersemangat, beliau juga memapar sejumlah strategi yang sudah dilakukannya. “Tak penting saya jadi pemimpin. Itu bukan maksudnya. Tapi bagaimana memotong kekuasaan yang korup ini jangan keterusan dan beranak pinak. Itu saja,” jelasnya. Klise, khas politisi, tapi harus diakui banyak paparannya yang sangat berdasar.

Baiklah, Bapak, itu tentu cukup meyakinkan. Dari luar sana pun, kami juga mendengar banyak tentang beragam kelemahan, kekurangan dan kecurangan dari rezim yang sekarang. Daftarnya cukup panjang.

Lalu, si Bapak memaparkan banyak kiat. Sebenarnya bisa dipahami dan dimaklumi, bahwa untuk menggulingkan sebuah pohon besar yang sudah mengakar, tentu dibutuhkan kerja keras bertahun-tahun. Akar-demi akar diputuskan dan digerogoti. Ini mirip dengan perang gerilya yang serba menyelinap, menyerang dari belakang, lalu menghilang dan menyerang lagi kapan lawan lengah.

Dengan cukup gamblang si Bapak menjelaskan apa saja yang sudah dilakoni bertahun-tahun. Mulai dari membiayai kelompok demonstran, atau membuka borok dan kasus-kasus lawan politiknya ke media dengan meminjam nama LSM dan media massa. Bahkan di depanku dia menunjukkan draft selebaran yang akan dicetak sebagai black campaign bagi lawannya. Sekadar membalas, kilahnya menunjuk beberapa produk black campaign dari pihak lawan tentang dirinya.

Sesuap nasi tumpang yang enak tiba-tiba tersekat di tenggorokan, ketika mendadak muncul di bayanganku, bagaimana kalau benar si Bapak ini menang Pilkada? Apakah dia akan memakai cara-caranya bergerilya selama ini? OK, anggap tidak (lega sesaat) tapi bagaimana dengan kaki tangan yang sudah membantu dia paling tidak 3-4 tahun terakhir ini? Pejabat lama dia kritik sering menggunakan cara-cara preman, la kelompok dia ini namanya apa? Orang-orang yang terbiasa menggunakan aksi menekan, merongrong dan menyalahkan pihak lain, bahkan tidak segan menggunakan cara kasar?

Politik, menurutku memang seni untuk berkuasa, soal cara adalah nomor sekian. Tapi politik yang dijalankan dengan kasar, cenderung lebih menimbulkan kerusakan kolateral yang tidak perlu. Kalau hanya di antara elite saja, terserah lah. Lagipula, apa artinya perubahan, kalau akhirnya toh sama saja bagi rakyat?

Hampir tengah malam, aku pamit pulang. Saat di jalan, terlintas dua harapan: pertama, semoga ketakutanku tadi tidak akan terjadi. Kedua, jadi pingin segera menikmati lagi nasi pecel tumpang yang lezat tadi, aku yakin rasanya akan berlipat kali lebih lezat kalau dinikmati dalam suasana netral, tidak sambil bekerja apalagi memikirkan politik.

Pertengahan Maret, 2011

Rabu, 09 Maret 2011

Candi Cetha, “Diperkosa” Berkali-kali





Candi Cetha, mungkinkah ada situs lain yang mengalami seperti ini? Banyak orang menyebut candi di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Cetha, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar itu sebagai peninggalan Majapahit akhir pada masa Raja Brawijaya V.

Faktanya, pada masa Majapahit, sangat mungkin Candi Cetha dibangun di atas situs pemujaan yang lebih tua. Bangunan punden berundak dengan sejumlah relief terpapar di bumi. “Pemerkosaan” semacam itu, konon memang sering terjadi di sejumlah situs lain. (Lagi nyari pendapat ahli tentang hal ini)

Namun, “pemerkosaan” yang paling parah tentulah yang dilakukan oleh Soedjono Hoemardhani, dikenal sebagai asisten spiritual penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto. Pada tahun 1970-an, Cetha dipugar total tanpa mengindahkan kaidah renovasi arkeologi. Bentuknya menjadi seperti yang terlihat sampai kini, berupa gapura-gapura gaya Bali, pendapa, lingga, bilik-bilik semedi, juga bentuk segi empat di bagian puncak punden berundak.



Pengaruh Hoemardhani masih terasa meski yang bersangkutan sudah meninggal. Pada tahun 1990, ketika sejumlah arca di Cetha dijarah pencuri, kehadiran tim Mabes Polri yang dipimpin Kapten Heru Ismono merupakan atensi yang mengejutkan untuk ukuran waktu itu. Selama bekerja, tim itu berpangkalan di rumah milik keluarga Hoemardhani di Tawangmangu, dan pada akhirnya tim berhasil mengungkap kasus tersebut. Sejumlah arca, termasuk yang sudah berada di Singapura, bisa kembali.

Hebatnya, “pemerkosaan” masih kembali terjadi. Tahun 2003, Bupati Karanganyar Rina Iriani meletakkan patung Dewi Saraswati hadiah dari Bali, di hutan di sebelah timur candi. Meski tidak menyinggung satu pun dari struktur batuan candi, patung itu justru diletakkan di bagian yang menggambarkan alam suwung, jembatan harmonisasi manusia dengan penciptanya.

Apakah di masa mendatang masih akan ada lagi yang memerkosa Cetha, mari kita sama-sama niteni zaman ..


Hoi, kami punya ular







Apa salahnya hidup berbagi wilayah dengan ular? Ini foto salah satu ular kecil yang sesekali muncul di halaman belakang rumah. Entah dari jenis apa, tetapi kelihatannya tidak berbisa, dan jelas ular ini masih bayi alias baru menetas. Meski beberapa kali ular kecil semacam ini muncul, belum pernah sekalipun terlihat sanak kadangnya yang sudah dewasa, ini aneh juga.

Tetapi, bolehlah dihubung-hubungkan, bahwa dulu halaman belakang rumahku yang berbatasan dengan kebun punya tetangga, hampir tiap malam menjadi ajang pesta tikus-tikus wirog. Mereka menggasak sampah, tanaman, bahkan menculik dan menggerogoti ikan yang hidup di kolam.

Kalau sekarang, tikus-tikus itu mendadak tak pernah lagi muncul, apa ada kaitannya dengan ular-ular kecil itu? Memang tak jelas juga, tapi jelas kabar baiknya adalah tikus hilang atau setidaknya berkurang cukup signifikan. Kalau penggantinya adalah ular-ular seperti ini, yang tidak berbisa, yang jarang muncul dan yang tidak merusak apa-apa, tak ada salahnya kan?

Senin, 07 Maret 2011

Mencoba Ngeblog




Buah pikiran, positif atau negatif, cepat atau lambat pastilah memenuhi benak dan segera menjadi sampah. Menulis dan mencatat, adalah upaya untuk mengawetkan semua itu, setidaknya yang penting dan berguna bagi diri sendiri. Kalau ternyata juga bisa berguna bagi orang lain, syukurlah.

Selamat datang di blog sederhana ini, yang lahir dari dorongan sejumlah kawan: Blontank Poer dan segenap wadyabala komunitas blogger Bengawan, juga Ayik Sri Lestari, pemilik sah dari blog www.sekarlawu.blogspot.com. Tanpa kalian, malas sekali harus belajar ngeblog seperti ini.

Demikianlah. Aum Avignam Astu, semoga pikiran-pikiran yang baik saja datang kepadaku ...